Oleh Hadi Aspirin
Praktisi pendidikan dan penggiat FMGI Lampung, tinggal di Kalianda
Bangsa yang maju, modern, berilmu, dan berpendapatan tinggi, di mana pun, pasti dimulai dengan bagaimana mengelola pendidikan dan sumber daya manusianya. Perhatian, perhargaan terhadap pendidikan dan guru menjadi kata kunci untuk membentuk sumber daya manusia (SDM) berkualitas. SDM yang berkualitas adalah fondasi yang kokoh untuk kebangkitan suatu bangsa, apa pun kondisi sumber daya alamnya.
Berkaca pada Jepang dan Malaysia, kedua negara tersebut memiliki karakter sama dalam hal prioritas pembangunan. Tidak hanya dari sisi anggaran pendidikan yang lebih dari 20%, tetapi penguasa dan kultur masyarakat yang sangat menghormati guru. Kedua negara juga sama-sama mengundang guru dari luar untuk merestorasi negerinya. Indonesia sebenarnya punya potensi untuk bangkit. Jepang dan Malaysia bangkit karena didorong psikologi sosial ketakutan dan perasaan terancam. Jepang terancam penjajah pada abad ke-19.
Kondisi ini membulatkan tekad untuk melawan, ekonomi yang kuat, dan teknologi yang maju. Dengan cara mendatangkan guru ataupun mencuri ilmu sekalipun. Malaysia juga sama, diliputi rasa takut pada 1960, dengan penuh keterbatasan dan ketertinggalan, Malaysia hampir tidak memiliki harga diri dan minder dengan negara tetangga sekalipun. Bangsa kita sebenarnya mendapat kesempatan untuk merasakan takut karena terancam pada zaman revolusi fisik, tetapi pada saat revolusi selesai, hilang rasa terancam. Bangsa ini rileks, mengendorkan diri, dengan memproduksi banyak anak tahun 1960—1970.
Tiadanya rasa takut karena kekayaan alam melimpah, di tambah kebijakan yang tidak mencerdaskan, bangsa ini terlena hingga mendekati tahun 2000. Tanpa sadar, sedikit demi sedikit kekayaan alam bangsa ini diambil bangsa lain. Kondisi guru bangsa ini sungguh memprihatinkan, status, kondisi kerja, dan pengembangan diri lebih buruk dari guru di Malaysia apalagi Jepang. Restorasi guru sebenarnya sudah dimulai dengan munculnya UU Guru dan Dosen berikut PP-nya. UU ini pun dibenturkan dengan PP 53 yang mengatur bagi semua PNS, cenderung menjauhkan guru dari hak-hak mengembangkan diri dan perannya dalam perbaikan penddikan. PP 53 tidak hanya membelenggu para dosen tapi juga guru. Sebab, sejak mulai rekrutmen hingga penempatan guru tidak melalui perencanaan yang matang, sekolah kelebihan guru terus ditambah. Birokrasi yang diwarnai pungli, korupsi, suap-menyuap, mengabaikan prestasi dan kompetensi sangat merusak mental guru.
Guru yang rusak kepribadiannya sangat berbahaya. Bagaimana guru akan jujur, bergairah bekerja, memiliki idealisme, inovatif, kreatif, jika lingkungan sekitarnya dipenuhi ketidakjujuran. Kegiatan MGMP, les setiap sore adalah kegiatan instan dan percuma, hanya membuang-buang waktu dan biaya. Toh pada saat UN diberi kunci jawaban. Bahkan, anak sekarang cukup cerdas dan kreatif untuk curang saat UN, guru tidak perlu repot-repot bersembunyi dan kompak satu rayon merobek soal . Tampak bahwa guru Indonesia nyaris bekerja sendirian, omongan guru sudah tidak didengar lagi, teralu banyak kesenjangan anatara harapan dan kenyataan, kondisi ini jelas makin mengerdilkan profesi guru. Profesi guru terkena imbasnya pribadi guru menjadi rusak, guru memalsukan dokumen portofolio atau karya tulis, saat UN tidak jujur adalah buktinya.
Anak tidak toleran, hobi tawuran, free sex, hedonis, tidak kenal gotong-royong, tidak kenal cinta Tanah Air, tidak mandiri dan kreatif, adalah buah dari gagalnya guru membangun karakter generasi yang kuat. Dengan melihat wajah profesi guru dewasa ini, tentunya tidak dapat diharapkan untuk memperbaiki Indonesia ke depan yang kompetitif dan penuh tantangan. Jika ingin memperbaiki bangsa ini, guru harus diselamatkan terlebih dahulu. Semua pihak harus membantu tugas guru agar profesonal, idealis, jujur, berwibawa. Politisi dan penguasa berkomitmen memberi keteladanan dan membuat kebijakan yang menjamin kemerdekaan dan kesejahteraan guru.
Media juga bertanggung jawab membantu guru dalam upaya pencerdasan masyarakat. Orang tua masyarakat harus ikut membantu pendidikan anak, tidak menyerahkan sepenuhnya dengan hanya mengandalkan guru di sekolah, organisasi profesi guru wajib menegakkan kode etik guru. Sanksi yang tegas bagi yang tidak jujur dan perlindungan bagi yang jujur, memberi penghargaan bagi yang berprestasi, adalah bagian dari kesejahteraan guru yang paling pokok.
Dengan cara demikian, akan memperingan tugas guru dan ke depan guru Indonesia pasti bermartabat dan bergairah. Jika guru Indonesia bermartabat, jalan ke arah perbaikan bangsa ini terbuka lebar. Berkaca pada Malaysia dan Jepang sudah cukup. Negara itu bisa bangkit dan modern karena membangun pendidikan dengan kesungguhan, dengan keyakinan pendidikan dipandang sebagai investasi untuk kemajuan berbagai bidang di masa depan, serta menghormati dan menghargai peran gurunya.
(Sumber: Lampung Post, 24 Nopember 2010)