Oleh Ibrahim Sakty Batubara
Anggota Komisi X Fraksi PAN DPR RI
Selama ini dalam persepsi masyarakat sudah telanjur terbentuk bahwa anggaran pendidikan minimal 20 persen akan secara langsung berimplikasi pada penyelenggaraan pendidikan gratis yang bisa dinikmati oleh setiap warga negara. Bahkan sebagian besar masyarakat meyakini bahwa layanan pendidikan yang mereka terima juga berkualitas karena didanai oleh anggaran yang cukup besar dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.
Tapi masyarakat menghadapi kenyataan pahit karena mereka masih harus mengeluarkan biaya yang lebih mahal di sejumlah sekolah-sekolah yang justru berlabel sekolah gratis. Mereka dipusingkan oleh maraknya pungutan yang dilakukan oleh sejumlah sekolah, berupa uang gedung, uang karyawisata, uang LKS, uang buku, uang ekstrakurikuler, dan uang-uang sumbangan lainnya dengan berbagai dalih.
Kalaupun mereka dapat menikmati dunia pendidikan, persoalan mutu menjadi barang yang bernilai amat mahal. Apalagi kini banyak sekolah yang berlomba untuk menaikkan statusnya menjadi sekolah berstandar nasional (SSN) untuk sekolah dasar dan rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) untuk sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Peningkatan status ini tentu berimplikasi pada struktur biaya operasional yang mesti dikeluarkan oleh sekolah tersebut dan menjadi biaya yang mesti ditanggung oleh masyarakat. Akibatnya, terjadilah seleksi status sosial dalam masyarakat. Hanya kelompok masyarakat dari kalangan mampulah yang bisa menikmati pendidikan bermutu. Alhasil, harapan masyarakat untuk mendapatkan layanan pendidikan gratis dan bermutu tinggal impian.
Padahal, konstitusi kita, Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945, sebagaimana tercantum dalam pasal 31 ayat (1), sudah mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, termasuk pendidikan yang bermutu. Negara pun wajib membiayai penyelenggaraan pendidikan tersebut sebagaimana termaktub dalam pasal 31 ayat (2). Soal alokasi anggaran sekurang-kurangnya 20 persen pun sudah mendapat jaminan dari konstitusi, sebagaimana tercantum dalam pasal 31 ayat (4) bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Dalam Undang-Undang Sisdiknas Pasal 34 ayat (2) pun secara tegas sudah dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Wajib belajar adalah program pendidikan bebas biaya untuk jenjang pendidikan dasar yang meliputi SD dan SMP yang wajib dibiayai dan diselenggarakan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Dalam mengimplementasikan amanat konstitusi itulah, pada setiap pengajuan usulan RAPBN, pemerintah wajib mengalokasikan sekurang-kurangnya anggaran pendidikan 20 persen. RAPBN 2011 yang diajukan oleh pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp 243,3 triliun atau sekitar 20,2 persen dari total belanja sebesar Rp 1,202 triliun. Jumlah tersebut terdiri atas anggaran pendidikan yang dialokasikan pada kementerian atau lembaga dan bagian anggaran sebesar Rp 84,175 triliun, anggaran pendidikan yang ditransfer ke daerah sebesar Rp 156,600 triliun, dan dana pengembangan pendidikan nasional yang besarnya mencapai Rp 2,5 triliun.
Dari total dana pendidikan tersebut, alokasi anggaran pada pendidikan dasar untuk menunjang pelaksanaan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun mencapai Rp 9,2 triliun atau sekitar 3,78 persen dari total anggaran pendidikan. Sementara itu, dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), yang kini menjadi bagian dari anggaran transfer ke daerah, mencapai Rp 16,8 triliun atau sekitar 6,9 persen. Dengan demikian, total anggaran yang dialokasikan untuk menyukseskan program wajib belajar 9 tahun adalah sebesar Rp 26 triliun atau sekitar 10,7 persen dari seluruh anggaran yang dialokasikan untuk sektor pendidikan.
Untuk perbaikan gedung dan sarana-prasarana SD dan SMP, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan melalui mekanisme Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan. Berdasarkan nota keuangan RAPBN 2011, DAK Pendidikan sekitar Rp 10 triliun atau sekitar 4,1 persen. Jikapun DAK Pendidikan digabung dengan dana yang diperuntukkan buat menunjang program wajib belajar, persentasenya dalam APBN sekitar 14,8 persen.
Sekarang coba kita telaah anggaran yang dialokasikan untuk pos gaji yang masuk komponen transfer ke daerah melalui DAU Pendidikan, yang besarnya mencapai Rp 93 triliun atau sekitar 38 persen. Belum lagi jika alokasi anggarannya ditambah komponen anggaran tambahan penghasilan untuk guru PNSD sebesar Rp 3,6 triliun (1,5 persen), tambahan untuk tunjangan profesi guru sebesar Rp 17 triliun (6,9 persen). Jadi terdapat sekitar 46,4 persen yang dialokasikan untuk membayar gaji dan tunjangan. Bandingkan dengan proporsi anggaran untuk penuntasan program wajib belajar yang hanya mencapai 10,7 persen seperti tersebut di atas, di luar DAK Pendidikan yang mencapai 4,1 persen.
Kementerian Pendidikan Nasional, sebagai leading sector untuk penyelenggaraan pendidikan gratis, pun hanya mengalokasikan program pendidikan dasar sekitar Rp 6,2 triliun atau 12,5 persen. Jumlah ini menurun jika dibandingkan dengan anggaran program wajib belajar tahun anggaran 2010 yang mencapai Rp 28,4 triliun atau sekitar 45,3 persen dari total anggaran Kementerian. Alokasi anggaran 12,5 persen itu pun sudah digabung untuk program pendidikan taman kanak-kanak. Alokasi anggaran ini masih di bawah program peningkatan mutu serta kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan yang besarnya mencapai Rp 11,5 triliun atau sekitar 22,9 persen. Bahkan anggarannya jauh di bawah anggaran untuk program pendidikan tinggi, yang mencapai 47,5 persen.
Dengan demikian, dalam postur anggaran pendidikan 20 persen ini, posisi program wajib belajar pendidikan dasar tidaklah sekokoh yang dibayangkan banyak kalangan. Posisinya bahkan kalah kokoh dibandingkan dengan alokasi administrative cost, berupa pembayaran gaji dan tunjangan pendidik dan tenaga pendidikan yang mencapai 46,4 persen seperti tertera di atas. Tentu saja formulasi anggaran seperti ini dapat berimplikasi sangat luas terhadap keberlangsungan program wajib belajar yang sudah diamanatkan oleh UU Sisdiknas. Formulasi anggaran seperti itu juga mengindikasikan kepada kita bahwa logika kekuasaan lebih dominan daripada logika konstitusi.
Dengan postur anggaran yang seperti ini, kita patut bertanya, sejauh mana sesungguhnya komitmen pemerintah untuk menuntaskan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun? Bagaimana komitmen pemerintah untuk memperluas akses layanan pendidikan yang bermutu bagi semua anak bangsa?
Kemajuan negeri ini dapat diraih jika negara ini memiliki komitmen yang kuat untuk meningkatkan taraf pendidikan rakyatnya. Kemajuan negeri ini bisa diraih jika kita memiliki sumber daya manusia yang berkualitas, yang dihasilkan dari pendidikan yang berkualitas pula. Dan komitmen pemerintah yang kuat untuk memajukan pendidikan tidaklah sebatas pembentukan citra. Komitmen itu harus benar-benar mewujud nyata. Dengan demikian, mimpi masyarakat menikmati pendidikan gratis dan bermutu menjadi kenyataan. (Sumber: Koran Tempo, 23 Oktober 2010).
Padahal, konstitusi kita, Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945, sebagaimana tercantum dalam pasal 31 ayat (1), sudah mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, termasuk pendidikan yang bermutu. Negara pun wajib membiayai penyelenggaraan pendidikan tersebut sebagaimana termaktub dalam pasal 31 ayat (2). Soal alokasi anggaran sekurang-kurangnya 20 persen pun sudah mendapat jaminan dari konstitusi, sebagaimana tercantum dalam pasal 31 ayat (4) bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Dalam Undang-Undang Sisdiknas Pasal 34 ayat (2) pun secara tegas sudah dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Wajib belajar adalah program pendidikan bebas biaya untuk jenjang pendidikan dasar yang meliputi SD dan SMP yang wajib dibiayai dan diselenggarakan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Dalam mengimplementasikan amanat konstitusi itulah, pada setiap pengajuan usulan RAPBN, pemerintah wajib mengalokasikan sekurang-kurangnya anggaran pendidikan 20 persen. RAPBN 2011 yang diajukan oleh pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp 243,3 triliun atau sekitar 20,2 persen dari total belanja sebesar Rp 1,202 triliun. Jumlah tersebut terdiri atas anggaran pendidikan yang dialokasikan pada kementerian atau lembaga dan bagian anggaran sebesar Rp 84,175 triliun, anggaran pendidikan yang ditransfer ke daerah sebesar Rp 156,600 triliun, dan dana pengembangan pendidikan nasional yang besarnya mencapai Rp 2,5 triliun.
Dari total dana pendidikan tersebut, alokasi anggaran pada pendidikan dasar untuk menunjang pelaksanaan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun mencapai Rp 9,2 triliun atau sekitar 3,78 persen dari total anggaran pendidikan. Sementara itu, dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), yang kini menjadi bagian dari anggaran transfer ke daerah, mencapai Rp 16,8 triliun atau sekitar 6,9 persen. Dengan demikian, total anggaran yang dialokasikan untuk menyukseskan program wajib belajar 9 tahun adalah sebesar Rp 26 triliun atau sekitar 10,7 persen dari seluruh anggaran yang dialokasikan untuk sektor pendidikan.
Untuk perbaikan gedung dan sarana-prasarana SD dan SMP, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan melalui mekanisme Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan. Berdasarkan nota keuangan RAPBN 2011, DAK Pendidikan sekitar Rp 10 triliun atau sekitar 4,1 persen. Jikapun DAK Pendidikan digabung dengan dana yang diperuntukkan buat menunjang program wajib belajar, persentasenya dalam APBN sekitar 14,8 persen.
Sekarang coba kita telaah anggaran yang dialokasikan untuk pos gaji yang masuk komponen transfer ke daerah melalui DAU Pendidikan, yang besarnya mencapai Rp 93 triliun atau sekitar 38 persen. Belum lagi jika alokasi anggarannya ditambah komponen anggaran tambahan penghasilan untuk guru PNSD sebesar Rp 3,6 triliun (1,5 persen), tambahan untuk tunjangan profesi guru sebesar Rp 17 triliun (6,9 persen). Jadi terdapat sekitar 46,4 persen yang dialokasikan untuk membayar gaji dan tunjangan. Bandingkan dengan proporsi anggaran untuk penuntasan program wajib belajar yang hanya mencapai 10,7 persen seperti tersebut di atas, di luar DAK Pendidikan yang mencapai 4,1 persen.
Kementerian Pendidikan Nasional, sebagai leading sector untuk penyelenggaraan pendidikan gratis, pun hanya mengalokasikan program pendidikan dasar sekitar Rp 6,2 triliun atau 12,5 persen. Jumlah ini menurun jika dibandingkan dengan anggaran program wajib belajar tahun anggaran 2010 yang mencapai Rp 28,4 triliun atau sekitar 45,3 persen dari total anggaran Kementerian. Alokasi anggaran 12,5 persen itu pun sudah digabung untuk program pendidikan taman kanak-kanak. Alokasi anggaran ini masih di bawah program peningkatan mutu serta kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan yang besarnya mencapai Rp 11,5 triliun atau sekitar 22,9 persen. Bahkan anggarannya jauh di bawah anggaran untuk program pendidikan tinggi, yang mencapai 47,5 persen.
Dengan demikian, dalam postur anggaran pendidikan 20 persen ini, posisi program wajib belajar pendidikan dasar tidaklah sekokoh yang dibayangkan banyak kalangan. Posisinya bahkan kalah kokoh dibandingkan dengan alokasi administrative cost, berupa pembayaran gaji dan tunjangan pendidik dan tenaga pendidikan yang mencapai 46,4 persen seperti tertera di atas. Tentu saja formulasi anggaran seperti ini dapat berimplikasi sangat luas terhadap keberlangsungan program wajib belajar yang sudah diamanatkan oleh UU Sisdiknas. Formulasi anggaran seperti itu juga mengindikasikan kepada kita bahwa logika kekuasaan lebih dominan daripada logika konstitusi.
Dengan postur anggaran yang seperti ini, kita patut bertanya, sejauh mana sesungguhnya komitmen pemerintah untuk menuntaskan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun? Bagaimana komitmen pemerintah untuk memperluas akses layanan pendidikan yang bermutu bagi semua anak bangsa?
Kemajuan negeri ini dapat diraih jika negara ini memiliki komitmen yang kuat untuk meningkatkan taraf pendidikan rakyatnya. Kemajuan negeri ini bisa diraih jika kita memiliki sumber daya manusia yang berkualitas, yang dihasilkan dari pendidikan yang berkualitas pula. Dan komitmen pemerintah yang kuat untuk memajukan pendidikan tidaklah sebatas pembentukan citra. Komitmen itu harus benar-benar mewujud nyata. Dengan demikian, mimpi masyarakat menikmati pendidikan gratis dan bermutu menjadi kenyataan. (Sumber: Koran Tempo, 23 Oktober 2010).
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan tulis pesan, kritik, atau apalah namanya demi kemajuan pendidikan di negeri ini